Pembahsan
Sebelum membahas tafsir taubat perpsektif tasawuf adakalnya kita membahas terlebih dahulu apa itu tafsir. Tafsir secara etimoliogi berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiruan, yaitu menjelaskan dan menerangkan (al-idhah wa al-tabyin). Pandangan ini didsari pada sebuah ayat dalam Al-quran, yaitu dalam surat Al-furqon ayat 33, berbunyi, Dan Kami tidak mendatangi kamu dengan sebuah perumpamaan kecuali dengan sebuah kebenaran dan tafsir yang paling baik. Jadi tafsir itu penjelasan dan penyikapan. Kalau didalam kamus lisan Al-‘Arab tafsir berarti memperjelas, menyingkap yang tertutup serta menyingkap maksa sebuah lafadz yang sulit dipahami.[1]
Secara terminologi tafsir adalah upaya untuk menjelaskan dan menyingkapkan sebuah lafdz agar sampai pada pemahaman yang tepat. Dalam ayat Al-furqoan yang diatas telah dijelaskan bahwa Al-quran telah menegaskan perihal keterkaitan antara kebenaran (al-haqq) dan penjelasan (al-tafsir) kedua ini tidak bisa dipisahkan dan saling keterkaitan. Para ulama juga mulai mencoba memahami keterkaitannya dengan Al-quran. Karena yang ditafsirkan bukan kitab biasa, melainkan wahyu yang membawa kebenaran dan pesan kebaikan, maka pendefisinisian atas tafsir dilakukan secara haati-hati. Pandangan para ulama tidak bersifat tunggal, melainkan juga selalu ada perbedaan pendapat dalam mendefisinikan tafsir.[2]
Para ulama sufi pun ikut serta dalam mendefisinikan tafsir atas ayat-ayat suci pada Al-quran. Tidak lain sufi yang mempunya kata-kata kontroversial ana al-haqq, yaitu Abu Mansur Al-Halaj yang dibunuh dan disalib pada 922, dan dibuang ke sungai Tigris.
Setelah mengetahui definisi tafsir selanjutkan perlu diketahui terlebih dahulu apa itu taubat. Taubat masuk kedalam maqamat dalam tasawuf. Maqamat yaitu stasiun-stasiun yang harus dilalui oleh seorang penempuh jalan tasawuf (salik). Al-Kalabadzi memberikan pernyataan maqam yang ditempuh oleh seorang sufi terdiri dari tujuh tingkatan, yakni taubat, zuhud, sabar, tawakal, ridha, mahabbah, dan makrifat. Tobat menurut al-Kalabadzi merupakan maqam awal dalam semua maqamat. Kedudukanya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi bangunan tak dapat berdiri. Tanpa taubat, seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tak akan dekat dengan Allah swt. Taubat dapat diumpamakan sebagai pintu gerbang menuju kehidupan sufistik. Taubat berarti kembali, yaitu kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan agama.[3]
Annemarie Schimmle menuliskan dalam bukunya makna taubat, menurut Annemarie Schimmle Taubat adalah persinggahan pertama di jalan atas, atau lebih tepat mula pertamanya, ialah taubat atau “penyesalan”, taubat berarti berpaling dari dosa, melepaskan semua urusan dunia. Ada sebua syaiir dalam bukunya Annemarie Schimmle:
Taubat adalah tunggangan aneh
Dalam sekejap ia melompat ke sorga dari tempat paling rendah. (M 6: 464)[4]
Hujwiri menggambarkan taubat sebagai kembali dari dosa besar kepada kepatuhan; naba adalah kembali dari dosa kecil kepada cinta kasih, dan auba adalah kembali dari diri sendiri kepada Tuhan.[5]
Setelah mengetaahui taubat menurut ajaran tasawuf, seperti maqomat, dan pendapat dari para kaum Sufi dan penulis tasawuf, selanjutnya akan lanjut kepembahasan tafsir taubat perspektif tasawuf.
Tafsir Taubat
Tafsir taubat surat Al-A’raf ayat 152-153
Saya mengutip tafsiran Abi Quraish Shihab, yaitu tafsir Al-Misbah.
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ
وَالَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِهَا وَآمَنُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (QS. Al-A’raf Ayat 152). Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-A’raf ayat 153)
Abi Quraish Shihab menuliskan dalam tafsiranya, setelah ayat 152 menjelaskan sanksi yang akan menimpa mereka yang bertekad dan bekelanjutan kedurhakaanya, dilanjutkanlah ayat itu dengan penjelasan tentang apa yang akan menanti mereka yang menyadari kesalahanya atau yang diistilahkan oleh ayat 149 dengan saqitha fi aidihim (sangat menyesali perbuatannya), yaitu dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan dengan sengaja, kemudian walau setelah berlalu waktu dan dia bertaubat, yakni menyesal, memohon ampun bertekad untuk tidak mengulangimya serta mengikuti tuntunan Allah dan rasul-Nya sesudah kedurhakaan yang dilakukanya itu dan dengan syarat dia beriman dengan keimanan yang benar, maka sesungguhnya Tuhanmu hai Musa, pasti sesudahnya, yakni sesudah taubat yang disertai dengan iman itu mereka dapati Maha Pengampun sehingga menghapus dosa-dosa mereka lagi Maha Penyayang dengan melimpahkan anugerah kepada mereka.[6] Jadi pada ayat ini terdapata kaum dari nabi Musa a.s yang menyembah lembu, mereka tidak menyembah Allah. Allah telah memberi sanksi kepada mereka apabila mereka terus menyembah apa yang merek sembah itu, kecuali kata Allah Kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan beriman, sesungguhnya Allah menerima taubatnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Katsir menuliskan dalam kitabnya tentang taubat. Terdapat pada surat At-tahrim ayat 8, yaitu
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (Q.S At-tahrim ayat 8)
Oleh karena itu, taubat merupakan ibadah yang sangat agung dan memiliki banyak keutamaan. Lalu apa maksud taubat nasuha sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dalam ayat At-tahrim itu?
Makna pertama: taubat yang murni (ikhlas) dan jujur. Secara bahasa, نصح artinya sesuatu yang bersih atau murni (tidak bercampur dengan sesuatu yang lain). Sesuatu disebut (الناصح), jika sesuatu atau tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang lain, misalnya madu murni atau sejenisnya. Diantara turunan kata نصح adalahالنصيحه .[7]
Berdasarkan makna bahasa ini, taubat disebut dengan taubat nasuha jika pelaku taubat memurnikan, ikhlas (hanya semata-mata untuk Allah), dan jujur dengan taubatnya. Dia mencurahkan dengan segala daya dan kekuatanya untuk menyesali dosa-dosanya yang telah diperbuat dengan taubat yang benar (jujur). Ibnu Katsir menjelaskan makna taubat pada surat At-tahrim ayat 8 ini, katanya
اي توبة صادقة جازمة تمحو ما قبها من الشئا ت وتلم شعت الت عبوتجمعه و تكفه عما كان يتعا طا ه من الد نا ء اتز
“Yaitu taubat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan”.[8]
Ketika menejelaskan ayat diatas, penulis kitab tafsir Al-jalalain berkata,
صَا دِ قِةً بِا ن لاَ يعا د الي الذِ نب و لا يرا د الءو د اليهَ
“Taubat yang jujur, yaitu dia tidak kembali (melakukan) dosa dan tidak bermaksud mengulanginya.” [9]
Taubat adalah proses penyucian diri dari tasawuf taobat dijadikan maqom pertama oleh beberapa ulama sufi. Namun ada juga ulama sufi yang memposisikan taubat bukan di maqom pertama. Ini tidaklah menjadi masalah karena para ulama sufi berbeda pandangan, berbeda perspektif dalam memposisikan taubat. Dalam kitab risalah Qusyairiyah, Syeikh Qusyairi menuliskan tobat dalam surat An-nuur ayat 31, yaitu
و تو بو الي الله جميعا ايةً المؤ منو ن لعلكم تفلحون
Artinya: “Bertobatlah kamu sekalian kepda Allah wahai orang-orang yang beriman seupaya kamu beruntung,” (Q.S An-Nuur ayat 31)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik[10] bahwa Rasulullas Saw. bersabda
التا ءب من الذيب كَمَن لاَ ذ نب لهُ واذااحبّ اللهُ ءبدًا لم يضرّ هُ ذنبٌ
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak akan melekat pada dirinya.” (H.R Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Hakim)
Selanjutnya Rasulullah membacakan ayat, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.S Al-Baqarah ayat 222)
Ketika Rasulullah ditanya, “Wahau Rasul, apa pertanda bertobat itu.?” Beliau lalu menjawab “Meneysali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiadalah sesuatu yang lebih dicintai Allah selaian pemuda yang bertobat.” Oleh karena itu, tobat merupakan tingkat pertama di antara tingakatan-tingakatan atau maqom yang dialami oleh para sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan Allah (salik).[11]
Tafsir taubat dalam surat Al-Baqarah 160
(اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا) رجعوا عن ذلك (وَأَصْلِحُوْا) عملهم (وَبَيَّنُوْا) ما كتوا (فَاُوْلَئِكَ أَتُوْبُ عَلَيْهِمْ) أقبل توبتهم (وَاَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمَض) بالمؤمنين.
Artinya: (Kecuali orang-orang yang tobat) artinya sadar dan kembali dari kesalahannya, (mengadakan perbaikan) mengenai amal perbuatan mereka, (dan memberikan penjelasan) tentang apa yang mereka sembunyikan itu, (maka terhadap mereka Kuterima tobatnya) (dan Aku Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang) terhadap orang-orang yang beriman.8
Di dalam Tafsir Jalalain surah Al-Baqarah ayat 160, menerangkan tentang dimana seseorang menyadari akan kesalahanya dan kembali kepada Allah, mengenai Amal perbuatan yang sudah diperbuatnya selama ini tentang apa yang mereka sembunyikan itu terhadap orang-orang beriman.9
Menurut Imam al-Ghazali, taubat adalah suatu usaha dari beberapa pekerjaan hati. Singkatnya taubat ialah membersihkan hati dari dosa-dosa yang sudah diperbuat, dengan niat mengagungkan Allah dan takut akan murka-Nya.[12]
Tafsir Jalalain surah At-Tahrim ayat 66
يَا أيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا قُوا أنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَ الْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةُ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَّيَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُونَ
Artinya: “Hai, orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar,keras,dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. At-Tahrim:66:6).
Penafsiran dari ayat ini di dalam Tafsir Jalalain yaitu, mengarahkan mereka kepada jalan ketaan Allah, dan orang-orang kafir menyembah seperti berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan-bahan neraka itu. Atau dengan kata lain api neraka itu sangat panas, sehingga hal-hal tersebut dapat terbakar. Berbeda halnya dengan api di dunia, karena api di dunia dinyalakan dengan kayu dan lain-lainnya. Yakni, juru kunci neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada sembilan belas malaikat, sebagaimana yang akan diterangkan nanti dalam surat Al-Muddatsir pada lafal “ghilaazhun” ini diambil dari asal kata “ghilazun qalbi”, yakni kasar hatinya sangat kerasa hantamannya dan pada lafal “maa amarahum “ berkedudukan sebagai badal dari lafal Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga nereka itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah, lafaz ayat ini berkedudukan menjadi badal dari lafal yang sebelumnya, Dalam ayat ini terkandung ancaman bagi orang-orang munafik yaitu, mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tetapi hati mereka masih tetap kafir.
Kesimpulan
Taubat adalah penyerahan sepenuhnya dan semurni-murninya kepada Allah. Kaum Sufi memaknai taubat sebagai bagian dari tasawuf. Taubat masuk dalam maqomat, ada yang mengakatan maqom taubat adalah maqom tingkatan pertama untuk seorang salik, dan juga ada yang mengatakan maqom taubat bukanlah maqom yang pertama. Jadi ada perbedaan pandangan dari para kaum sufi dalam memposisikan maqom taubat. Jangan jadikan perbedaan sebagai suatu yang salah dan hanya berpandang hanya dirinya lah yang benar. Banyak pandangan dari kaum sufi dan banyak persepktif.
Tafsir Taubat yang ditulis disini mengutip dari berbagai pandangan dari para mufassir para ahli tafsir. Penulis mengutip dari kitab-kitab tafsir, diantaranya: al-Misbah karya dari Abi Quraish Shihab, beliau asal Indonesia. Tafsir Ibnu Katsir dan tafsir al-jalalain.
Mengenai tafsir, tafsir dijelaskan adalah menerangkan, mejelaskan, menyingkapkan makna lafadz agar sampai pada pemahaman yang tepat. Memahami Al-Quran tanpa tafsir adalah tindakan yang salah. Karena dengan tafsirlah mereka akan tau asbab an-nuzul, Makkiyah atau madaniyah, kenapa ayat itu diturunkan. Penulis telah menjelaskan mengenai tafsir diatas mengutip dari bukunya Guz Zuhairi Misrawi, Al-quran Kitab Toleransi: Kitab Tematik Islam Rahmatan Lil ‘alamin.
Daftar Pustaka
Misrawi, Zuhairi, Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil’Alamn. Jakarta: Pustaka Oasis, 2017.
Bahri, Media Zainul, Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: penerbit Erlangga, 2010.
Schimmle, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam.terj. Sapardi Djoko Darmono, Achadiati Ikram, Chasanah Buchari, dan Mitia Muzhar. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2004
An-Naisabur, Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah.terj. Lukman Hakiem. Surabaya: Risalah pustaka Gusti, 2014
Tafsir jalalain, Syaik Jalaluddin Al-Mahhali,
Tafsir Ibnu Katsir
[1] Zuhairi Misrawi, Al-quran Kitab Toleransi: Kitab Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. h. 98
[2] Zuhairi Misrawi, Al-quran Kitab Toleransi: Kitab Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
[3] Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010).h. 120
[4] Annemarie Schimmle, Dimensi Mistik Dalam Islam.terj. Sapardi Djoko Darmono, Achadiati Ikram, Chasanah Buchari, dan Mitia Muzhar. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009).h. 137
[5] Annemarie Schimmle, Dimensi Mistik Dalam Islam.h. 139
[6] Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah. (Jakarta:Lentera hati, 2004).h. 261
[7] Lihat Lisanul ‘Arab, 2/ 615-617)
[8] Tafsir Al-qur’anul adzim, 4/ 191)
[9] Tafsir jalalain, 1/753)
[10] Anas bin Malik (612-712 M), dari suku Khazraj golongan kaum Anshor. Meriwayatkan 2286 hadis.
[11] Abul Qasim Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalah Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf. Terj. Lukman Hakim. (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 2014).h. 78-79